Khalifah : “Wahai Abu Hazim, maukah engkau mendampingi kami agar kami bisa mendapatkan sesuatu darimu dan anda mendapatkan sesuatu dari kami?”
Abu
Hazim : “Tidak, wahai amirul
mukminin.”
Khalifah : “Mengapa?”
Abu
Hazim : “Saya khawatir kelak akan
condong kepada anda sehingga Allah Subhana wa ta’ala menghukum saya dengan
kesulitan didunia dan siksa di akhirat.”
Khalifah : “Utarakanlah kebutuhan anda kepada
kami wahai Abu Hazim.”
Abu
Hazim tidak menjawaab sehingga khalifah mengulangi pertanyaannya: “Wahai Abu
Hazim utarakanlah hajat-hajatmu, kami akan memenuhi sepenuhnya.”
Abu
Hazim : “Hajat saya adalah selamat
dari api neraka dan masuk kedalam surga.”
Khalifah : “Itu bukan wewenang kami wahai Abu
Hazim.”
Abu
Hazim : “Saya tidak memiliki
keperluan selain itu wahai amirul mukminin.”
Khalifah : “Wahai Abu Hazim, berdo’alah
untukku.”
Abu
Hazim : “Ya Allah, bila hambamu
sulaiman ini adalah orang yang Kau cintai, maka mudahkanlah baginya jalan
kebaikan di dunia dan akhirat. Dan jika dia termasuk musuh-Mu, maka berilah dia
hidayah kepada apa yang Engkau sukai dan Engakau ridhai, Amin.”
Salah
satu hadirin berkata: “Alangkah buruknya perkataanmu tentang amirul mukminin.
Engkau sebutkan khalifah barangkali termasuk musuh Allah –Subhana wa ta’ala-,
kamu telah menyakiti perasaannya.”
Abu
Hazim : “Justru perkataanmu itulah
yang buruk. Ketahuilah bahwa Allah telah mengambil janji dari para ulama agar
berkata jujur:
Terjemahan
“Hendaklah
kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu
menyembunyikannya.” (QS. Ali Imran: 187)
Beliau
menoleh kepada khalifah dan berkata: “Wahai amirul mukminin umat-umat terdahulu
tinggal dalam kebaikan dan kebahagiaan selama pemimpinnya selalu mendatangi
ulama untuk mencari kebenaran pada diri mereka. Kamudian muncullah kaum dari
golongan rendah yang mempelajari berbagai ilmu mendatangi para amir untuk
mendapatkan kesenangan dunia. Selanjutnya para amir tersebut tidak lagi
menghiraukan perkataan ulama, maka merekapun menjadi lemah dan hina di mata
Allah –Subhana wa ta’ala-. Seandainya segolongan ulama tidak tamak terhadap apa
yang ada disisi para amir, tentulah amir-amir tersebut akan mendatangi mereka
untuk mencari ilmu. Tetapi karena para ulama menginginkan apa yang ada disisi
para amir, maka para amir tak lagi menghiraukan ucapannya.”
Khalifah : “Anda benar. Tambahkanlah nasehat
untukku, wahai Abu Hazim, aku benar-benar tidak mendapati hikmah yang lebih
dekat dengan lidahnya daripada anda.”
Abu
Hazim : “Bila anda termasuk orang
yang suka menerima nasehat, maka apa yang saya utarakan tadi cukuplah sebagai
bekal. Tetapi bila tidak dari golongan itu, maka tidak perlulah aku memanah
dengan busur yang tak ada talinya.
Khalifah : “Wahai Abu Hazim, aku berharap anda
mau berwasiat kepadaku.”
Abu
Hazim : “Baiklah, akan saya katakan
dengan ringkas. Agungkanlah Allah –Subhana wa Ta’ala dan jagalah jangan sampai
Dia melihat anda dalam keadaan yang tidak disukai-Nya dan tetaplah anda
ditempat yang diperintahkan-Nya.”
Setelah
itu, Abu Hazim mengucapkan salam dan mohon diri. Khalifah berkata : “Semoga
Allah membalas anda dengan kebaikan wahai seorang alim yang suka menasehati.”
Setibanya
dirumah, Abu Hazim mendapati sekantung dinar dari Amirul Mukminin yang disertai
surat berbunyi: “Pergunakanlah harta ini, dan bagi anda masih ada persediaan
yang semisalnya disisiku.” Namun beliau mengembalikan harta tersebut disertai
surat balasan:
“Wahai
amirul mukminin, saya berlindung kepada Allah apabila pertanyaan-pertanyaan
anda kepada saya hanya anda anggap iseng dan jawaban sayapun menjadi bathil.
Demi Allah saya tidak rela hal itu terjadi pada diri anda, lalu bagaimana saya
bisa merelakannya untuk diri saya sendiri? Wahai amirul mukminin, bila
dinar-dinar ini adalah imbalan atas kata-kata yang sampaikan kepada anda, maka
memakan bangkai dan daging babi dalam keaadaan terpaksa adalah lebih halal
daripadanya. Namun apabila ini memang hak saya dari Baitul Maal Muslimin,
apakah anda memberikannya sama besar dengan bagian muslimin lainnya?”
Bersambung
. . . . . . . .
____________________________________________________________________
Shuwaru
min Hayati At-Tabi’in. Edisi Indonesia “Mereka Adalah Para Tabi’in”. DR.
Abdurrahman Ra’fat Basya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar