بسم الله الرحمن الرحيم
Kalau pertanyaan berikut diajukan kepada kita: mau
jadi orang kaya atau miskin? Tentu mayoritas, atau bahkan semua akan
memilih jadi orang kaya. Pilihan ini wajar karena kekayaan identik
dengan kebahagiaan, kecukupan dan ketenangan hidup, sementara tentu
tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya sengsara.
Akan tetapi permasalahan yang sebenarnya adalah
dengan apa orang menjadi kaya sehingga dia bisa hidup tenang dan
berkecukupan? Apakah dengan harta benda atau pangkat dan jabatan duniawi
semata?
Jawabannya pasti: tidak, karena kenyataan di lapangan
membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki harta berlimpah dan
jabatan yang tinggi tapi hidupnya jauh dari kebahagiaan dan digerogoti
berbagai macam penyakit kronis yang bersumber dari hati dan pikirannya
yang tidak pernah tenang.
Kalau demikian, dengan apakah seorang manusia bisa meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati?
Temukan jawaban pertanyaan di atas dalam hadits berikut ini::
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati)”1.
Inilah jawaban dari hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang merupakan wahyu Allah Ta’ala Pencipta
alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga manusia. Dialah
Yang Maha Mengetahui tentang segala keadaan manusia, tidak terkecuali
sebab yang bisa menjadikan mereka meraih kekayaan, kecukupan dan
kebahagiaan hidup sejati.
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman:
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta
beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).
Hadits ini merupakan argumentasi kuat, ditambah bukti
nyata di lapangan, yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kecukupan dalam
hati merupakan sebab kebahagiaan hidup manusia lahir dan batin, meskipun
orang tersebut tidak memiliki harta yang berlimpah.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika
segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika
segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia,
ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”2.
Benar, kekayaan yang sejati adalah iman kepada Allah Ta’ala dan ridha terhadap segala ketentuan dan pemberian-Nya, ini akan melahirkan sifat qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Ta’ala).
Inilah sifat yang akan membawa keberuntungan besar bagi hamba di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh
sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki
yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa
cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya”3.
Apa yang dijelaskan dalam hadits
ini tidaklah mengherankan, karena arti “kaya” yang sesungguhnya adalah
merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki, adapun orang yang tidak
pernah puas dan selalu rakus mencari tambahan, meskipun hartanya
berlimpah, maka sungguh inilah kemiskinan yang sejati, karena
kebutuhannya tidak pernah tercukupi.
Imam Ibnu Baththal berkata: “Makna hadits
di atas: Bukanlah kekayaan yang hakiki (dirasakan) dengan banyaknya
harta, karena banyak orang yang Allah jadikan hartanya berlimpah tidak
merasa cukup dengan pemberian Allah tersebut, sehingga dia selalu
bekerja keras untuk menambah hartanya dan dia tidak perduli dari manapun
harta tersebut berasal (dari cara yang halal atau haram).
Maka (dengan ini) dia seperti orang yang sangat miskin karena
(sifatnya) yang sangat rakus. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan
(dalam) jiwa (hati), yaitu orang yang merasa cukup, qana’ah dan
ridha dengan rezki yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga dia tidak
(terlalu) berambisi untuk menambah harta (karena dia telah merasa cukup)
dan tidak ngotot mengejarnya, maka dia seperti orang kaya”4.
Oleh karena itu, kemiskinan yang sebenarnya adalah sifat
rakus dan ambisi yang berlebihan untuk menimbun harta serta tidak
pernah merasa cukup dengan pemberian Allah Ta’ala.
Padahal kalau saja seorang manusia mau berpikir dengan
jernih dan merenungkan, apakah kerakusan dan ketamakannya akan
menjadikan rezki yang telah Allah Ta’ala tetapkan baginya bisa
bertambah dan semakin luas? Tentu saja tidak, karena segala sesuatu yang
telah ditetapkan-Nya tidak akan berubah, bertambah atau berkurang.
Bahkan lebih dari itu, justru kerakusan dan ambisi yang
berlebihan mengejar perhiasan dunia, itulah yang akan menjadikannya
semakin menderita dan sengsara. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah
merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan
mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan
baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan
utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan
kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda)
duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di
hadapannya)”5.
Kesimpulannya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah ) dan ridha dengan segala pembagian-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “…Ridhalah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”6.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua orang yang membaca dan merenungkannya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1434 H
1 HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 1051).
2 HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).
3 HSR Muslim (no. 1054).
4 Kitab “Tuhfatul ahwadzi” (7/35).
5 HR
Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban
(no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih
oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
6 HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
—
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA.
Dari artikel 'Kaya Dengan Atau Tanpa Harta, Bisa? — Muslim.Or.Id'
Kaya Dengan Atau Tanpa Harta, Bisa?
بسم الله الرحمن الرحيم
Kalau pertanyaan berikut diajukan kepada kita: mau
jadi orang kaya atau miskin? Tentu mayoritas, atau bahkan semua akan
memilih jadi orang kaya. Pilihan ini wajar karena kekayaan identik
dengan kebahagiaan, kecukupan dan ketenangan hidup, sementara tentu
tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya sengsara.
Akan tetapi permasalahan yang sebenarnya adalah
dengan apa orang menjadi kaya sehingga dia bisa hidup tenang dan
berkecukupan? Apakah dengan harta benda atau pangkat dan jabatan duniawi
semata?
Jawabannya pasti: tidak, karena kenyataan di lapangan
membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki harta berlimpah dan
jabatan yang tinggi tapi hidupnya jauh dari kebahagiaan dan digerogoti
berbagai macam penyakit kronis yang bersumber dari hati dan pikirannya
yang tidak pernah tenang.
Kalau demikian, dengan apakah seorang manusia bisa meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati?
Temukan jawaban pertanyaan di atas dalam hadits berikut ini::
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati)”1.
Inilah jawaban dari hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang merupakan wahyu Allah Ta’ala Pencipta
alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga manusia. Dialah
Yang Maha Mengetahui tentang segala keadaan manusia, tidak terkecuali
sebab yang bisa menjadikan mereka meraih kekayaan, kecukupan dan
kebahagiaan hidup sejati.
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman:
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta
beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).
Hadits ini merupakan argumentasi kuat, ditambah bukti
nyata di lapangan, yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kecukupan dalam
hati merupakan sebab kebahagiaan hidup manusia lahir dan batin, meskipun
orang tersebut tidak memiliki harta yang berlimpah.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika
segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika
segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia,
ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”2.
Benar, kekayaan yang sejati adalah iman kepada Allah Ta’ala dan ridha terhadap segala ketentuan dan pemberian-Nya, ini akan melahirkan sifat qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Ta’ala).
Inilah sifat yang akan membawa keberuntungan besar bagi hamba di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh
sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki
yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa
cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya”3.
Apa yang dijelaskan dalam hadits
ini tidaklah mengherankan, karena arti “kaya” yang sesungguhnya adalah
merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki, adapun orang yang tidak
pernah puas dan selalu rakus mencari tambahan, meskipun hartanya
berlimpah, maka sungguh inilah kemiskinan yang sejati, karena
kebutuhannya tidak pernah tercukupi.
Imam Ibnu Baththal berkata: “Makna hadits
di atas: Bukanlah kekayaan yang hakiki (dirasakan) dengan banyaknya
harta, karena banyak orang yang Allah jadikan hartanya berlimpah tidak
merasa cukup dengan pemberian Allah tersebut, sehingga dia selalu
bekerja keras untuk menambah hartanya dan dia tidak perduli dari manapun
harta tersebut berasal (dari cara yang halal atau haram).
Maka (dengan ini) dia seperti orang yang sangat miskin karena
(sifatnya) yang sangat rakus. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan
(dalam) jiwa (hati), yaitu orang yang merasa cukup, qana’ah dan
ridha dengan rezki yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga dia tidak
(terlalu) berambisi untuk menambah harta (karena dia telah merasa cukup)
dan tidak ngotot mengejarnya, maka dia seperti orang kaya”4.
Oleh karena itu, kemiskinan yang sebenarnya adalah sifat
rakus dan ambisi yang berlebihan untuk menimbun harta serta tidak
pernah merasa cukup dengan pemberian Allah Ta’ala.
Padahal kalau saja seorang manusia mau berpikir dengan
jernih dan merenungkan, apakah kerakusan dan ketamakannya akan
menjadikan rezki yang telah Allah Ta’ala tetapkan baginya bisa
bertambah dan semakin luas? Tentu saja tidak, karena segala sesuatu yang
telah ditetapkan-Nya tidak akan berubah, bertambah atau berkurang.
Bahkan lebih dari itu, justru kerakusan dan ambisi yang
berlebihan mengejar perhiasan dunia, itulah yang akan menjadikannya
semakin menderita dan sengsara. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah
merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan
mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan
baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan
utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan
kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda)
duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di
hadapannya)”5.
Kesimpulannya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah ) dan ridha dengan segala pembagian-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “…Ridhalah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”6.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua orang yang membaca dan merenungkannya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1434 H
1 HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 1051).
2 HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).
3 HSR Muslim (no. 1054).
4 Kitab “Tuhfatul ahwadzi” (7/35).
5 HR
Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban
(no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih
oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
6 HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
—
Dari artikel 'Kaya Dengan Atau Tanpa Harta, Bisa? — Muslim.Or.Id'
Kaya Dengan Atau Tanpa Harta, Bisa?
بسم الله الرحمن الرحيم
Kalau pertanyaan berikut diajukan kepada kita: mau
jadi orang kaya atau miskin? Tentu mayoritas, atau bahkan semua akan
memilih jadi orang kaya. Pilihan ini wajar karena kekayaan identik
dengan kebahagiaan, kecukupan dan ketenangan hidup, sementara tentu
tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya sengsara.
Akan tetapi permasalahan yang sebenarnya adalah
dengan apa orang menjadi kaya sehingga dia bisa hidup tenang dan
berkecukupan? Apakah dengan harta benda atau pangkat dan jabatan duniawi
semata?
Jawabannya pasti: tidak, karena kenyataan di lapangan
membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki harta berlimpah dan
jabatan yang tinggi tapi hidupnya jauh dari kebahagiaan dan digerogoti
berbagai macam penyakit kronis yang bersumber dari hati dan pikirannya
yang tidak pernah tenang.
Kalau demikian, dengan apakah seorang manusia bisa meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati?
Temukan jawaban pertanyaan di atas dalam hadits berikut ini::
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati)”1.
Inilah jawaban dari hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang merupakan wahyu Allah Ta’ala Pencipta
alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga manusia. Dialah
Yang Maha Mengetahui tentang segala keadaan manusia, tidak terkecuali
sebab yang bisa menjadikan mereka meraih kekayaan, kecukupan dan
kebahagiaan hidup sejati.
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman:
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta
beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).
Hadits ini merupakan argumentasi kuat, ditambah bukti
nyata di lapangan, yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kecukupan dalam
hati merupakan sebab kebahagiaan hidup manusia lahir dan batin, meskipun
orang tersebut tidak memiliki harta yang berlimpah.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika
segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika
segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia,
ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”2.
Benar, kekayaan yang sejati adalah iman kepada Allah Ta’ala dan ridha terhadap segala ketentuan dan pemberian-Nya, ini akan melahirkan sifat qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Ta’ala).
Inilah sifat yang akan membawa keberuntungan besar bagi hamba di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh
sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki
yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa
cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya”3.
Apa yang dijelaskan dalam hadits
ini tidaklah mengherankan, karena arti “kaya” yang sesungguhnya adalah
merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki, adapun orang yang tidak
pernah puas dan selalu rakus mencari tambahan, meskipun hartanya
berlimpah, maka sungguh inilah kemiskinan yang sejati, karena
kebutuhannya tidak pernah tercukupi.
Imam Ibnu Baththal berkata: “Makna hadits
di atas: Bukanlah kekayaan yang hakiki (dirasakan) dengan banyaknya
harta, karena banyak orang yang Allah jadikan hartanya berlimpah tidak
merasa cukup dengan pemberian Allah tersebut, sehingga dia selalu
bekerja keras untuk menambah hartanya dan dia tidak perduli dari manapun
harta tersebut berasal (dari cara yang halal atau haram).
Maka (dengan ini) dia seperti orang yang sangat miskin karena
(sifatnya) yang sangat rakus. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan
(dalam) jiwa (hati), yaitu orang yang merasa cukup, qana’ah dan
ridha dengan rezki yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga dia tidak
(terlalu) berambisi untuk menambah harta (karena dia telah merasa cukup)
dan tidak ngotot mengejarnya, maka dia seperti orang kaya”4.
Oleh karena itu, kemiskinan yang sebenarnya adalah sifat
rakus dan ambisi yang berlebihan untuk menimbun harta serta tidak
pernah merasa cukup dengan pemberian Allah Ta’ala.
Padahal kalau saja seorang manusia mau berpikir dengan
jernih dan merenungkan, apakah kerakusan dan ketamakannya akan
menjadikan rezki yang telah Allah Ta’ala tetapkan baginya bisa
bertambah dan semakin luas? Tentu saja tidak, karena segala sesuatu yang
telah ditetapkan-Nya tidak akan berubah, bertambah atau berkurang.
Bahkan lebih dari itu, justru kerakusan dan ambisi yang
berlebihan mengejar perhiasan dunia, itulah yang akan menjadikannya
semakin menderita dan sengsara. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah
merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan
mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan
baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan
utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan
kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda)
duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di
hadapannya)”5.
Kesimpulannya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah ) dan ridha dengan segala pembagian-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “…Ridhalah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”6.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua orang yang membaca dan merenungkannya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1434 H
1 HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 1051).
2 HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).
3 HSR Muslim (no. 1054).
4 Kitab “Tuhfatul ahwadzi” (7/35).
5 HR
Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban
(no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih
oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
6 HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
—
Dari artikel 'Kaya Dengan Atau Tanpa Harta, Bisa? — Muslim.Or.Id'
بسم الله الرحمن الرحيم
Kalau pertanyaan berikut diajukan kepada kita: mau
jadi orang kaya atau miskin? Tentu mayoritas, atau bahkan semua akan
memilih jadi orang kaya. Pilihan ini wajar karena kekayaan identik
dengan kebahagiaan, kecukupan dan ketenangan hidup, sementara tentu
tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya sengsara.
Akan tetapi permasalahan yang sebenarnya adalah
dengan apa orang menjadi kaya sehingga dia bisa hidup tenang dan
berkecukupan? Apakah dengan harta benda atau pangkat dan jabatan duniawi
semata?
Jawabannya pasti: tidak, karena kenyataan di lapangan
membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki harta berlimpah dan
jabatan yang tinggi tapi hidupnya jauh dari kebahagiaan dan digerogoti
berbagai macam penyakit kronis yang bersumber dari hati dan pikirannya
yang tidak pernah tenang.
Kalau demikian, dengan apakah seorang manusia bisa meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati?
Temukan jawaban pertanyaan di atas dalam hadits berikut ini::
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati)”1.
Inilah jawaban dari hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang merupakan wahyu Allah Ta’ala Pencipta
alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga manusia. Dialah
Yang Maha Mengetahui tentang segala keadaan manusia, tidak terkecuali
sebab yang bisa menjadikan mereka meraih kekayaan, kecukupan dan
kebahagiaan hidup sejati.
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman:
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta
beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).
Hadits ini merupakan argumentasi kuat, ditambah bukti
nyata di lapangan, yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kecukupan dalam
hati merupakan sebab kebahagiaan hidup manusia lahir dan batin, meskipun
orang tersebut tidak memiliki harta yang berlimpah.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika
segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika
segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia,
ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”2.
Benar, kekayaan yang sejati adalah iman kepada Allah Ta’ala dan ridha terhadap segala ketentuan dan pemberian-Nya, ini akan melahirkan sifat qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Ta’ala).
Inilah sifat yang akan membawa keberuntungan besar bagi hamba di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh
sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki
yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa
cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya”3.
Apa yang dijelaskan dalam hadits
ini tidaklah mengherankan, karena arti “kaya” yang sesungguhnya adalah
merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki, adapun orang yang tidak
pernah puas dan selalu rakus mencari tambahan, meskipun hartanya
berlimpah, maka sungguh inilah kemiskinan yang sejati, karena
kebutuhannya tidak pernah tercukupi.
Imam Ibnu Baththal berkata: “Makna hadits
di atas: Bukanlah kekayaan yang hakiki (dirasakan) dengan banyaknya
harta, karena banyak orang yang Allah jadikan hartanya berlimpah tidak
merasa cukup dengan pemberian Allah tersebut, sehingga dia selalu
bekerja keras untuk menambah hartanya dan dia tidak perduli dari manapun
harta tersebut berasal (dari cara yang halal atau haram).
Maka (dengan ini) dia seperti orang yang sangat miskin karena
(sifatnya) yang sangat rakus. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan
(dalam) jiwa (hati), yaitu orang yang merasa cukup, qana’ah dan
ridha dengan rezki yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga dia tidak
(terlalu) berambisi untuk menambah harta (karena dia telah merasa cukup)
dan tidak ngotot mengejarnya, maka dia seperti orang kaya”4.
Oleh karena itu, kemiskinan yang sebenarnya adalah sifat
rakus dan ambisi yang berlebihan untuk menimbun harta serta tidak
pernah merasa cukup dengan pemberian Allah Ta’ala.
Padahal kalau saja seorang manusia mau berpikir dengan
jernih dan merenungkan, apakah kerakusan dan ketamakannya akan
menjadikan rezki yang telah Allah Ta’ala tetapkan baginya bisa
bertambah dan semakin luas? Tentu saja tidak, karena segala sesuatu yang
telah ditetapkan-Nya tidak akan berubah, bertambah atau berkurang.
Bahkan lebih dari itu, justru kerakusan dan ambisi yang
berlebihan mengejar perhiasan dunia, itulah yang akan menjadikannya
semakin menderita dan sengsara. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah
merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan
mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan
baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan
utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan
kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda)
duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di
hadapannya)”5.
Kesimpulannya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah ) dan ridha dengan segala pembagian-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “…Ridhalah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”6.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua orang yang membaca dan merenungkannya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1434 H
1 HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 1051).
2 HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).
3 HSR Muslim (no. 1054).
4 Kitab “Tuhfatul ahwadzi” (7/35).
5 HR
Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban
(no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih
oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
6 HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
—
Dari artikel 'Kaya Dengan Atau Tanpa Harta, Bisa? — Muslim.Or.Id'
بسم الله الرحمن الرحيم
Kalau pertanyaan berikut diajukan kepada kita: mau
jadi orang kaya atau miskin? Tentu mayoritas, atau bahkan semua akan
memilih jadi orang kaya. Pilihan ini wajar karena kekayaan identik
dengan kebahagiaan, kecukupan dan ketenangan hidup, sementara tentu
tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya sengsara.
Akan tetapi permasalahan yang sebenarnya adalah
dengan apa orang menjadi kaya sehingga dia bisa hidup tenang dan
berkecukupan? Apakah dengan harta benda atau pangkat dan jabatan duniawi
semata?
Jawabannya pasti: tidak, karena kenyataan di lapangan
membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki harta berlimpah dan
jabatan yang tinggi tapi hidupnya jauh dari kebahagiaan dan digerogoti
berbagai macam penyakit kronis yang bersumber dari hati dan pikirannya
yang tidak pernah tenang.
Kalau demikian, dengan apakah seorang manusia bisa meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati?
Temukan jawaban pertanyaan di atas dalam hadits berikut ini::
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati)”1.
Inilah jawaban dari hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang merupakan wahyu Allah Ta’ala Pencipta
alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga manusia. Dialah
Yang Maha Mengetahui tentang segala keadaan manusia, tidak terkecuali
sebab yang bisa menjadikan mereka meraih kekayaan, kecukupan dan
kebahagiaan hidup sejati.
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman:
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta
beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).
Hadits ini merupakan argumentasi kuat, ditambah bukti
nyata di lapangan, yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kecukupan dalam
hati merupakan sebab kebahagiaan hidup manusia lahir dan batin, meskipun
orang tersebut tidak memiliki harta yang berlimpah.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika
segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika
segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia,
ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”2.
Benar, kekayaan yang sejati adalah iman kepada Allah Ta’ala dan ridha terhadap segala ketentuan dan pemberian-Nya, ini akan melahirkan sifat qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Ta’ala).
Inilah sifat yang akan membawa keberuntungan besar bagi hamba di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh
sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki
yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa
cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya”3.
Apa yang dijelaskan dalam hadits
ini tidaklah mengherankan, karena arti “kaya” yang sesungguhnya adalah
merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki, adapun orang yang tidak
pernah puas dan selalu rakus mencari tambahan, meskipun hartanya
berlimpah, maka sungguh inilah kemiskinan yang sejati, karena
kebutuhannya tidak pernah tercukupi.
Imam Ibnu Baththal berkata: “Makna hadits
di atas: Bukanlah kekayaan yang hakiki (dirasakan) dengan banyaknya
harta, karena banyak orang yang Allah jadikan hartanya berlimpah tidak
merasa cukup dengan pemberian Allah tersebut, sehingga dia selalu
bekerja keras untuk menambah hartanya dan dia tidak perduli dari manapun
harta tersebut berasal (dari cara yang halal atau haram).
Maka (dengan ini) dia seperti orang yang sangat miskin karena
(sifatnya) yang sangat rakus. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan
(dalam) jiwa (hati), yaitu orang yang merasa cukup, qana’ah dan
ridha dengan rezki yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga dia tidak
(terlalu) berambisi untuk menambah harta (karena dia telah merasa cukup)
dan tidak ngotot mengejarnya, maka dia seperti orang kaya”4.
Oleh karena itu, kemiskinan yang sebenarnya adalah sifat
rakus dan ambisi yang berlebihan untuk menimbun harta serta tidak
pernah merasa cukup dengan pemberian Allah Ta’ala.
Padahal kalau saja seorang manusia mau berpikir dengan
jernih dan merenungkan, apakah kerakusan dan ketamakannya akan
menjadikan rezki yang telah Allah Ta’ala tetapkan baginya bisa
bertambah dan semakin luas? Tentu saja tidak, karena segala sesuatu yang
telah ditetapkan-Nya tidak akan berubah, bertambah atau berkurang.
Bahkan lebih dari itu, justru kerakusan dan ambisi yang
berlebihan mengejar perhiasan dunia, itulah yang akan menjadikannya
semakin menderita dan sengsara. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah
merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan
mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan
baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan
utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan
kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda)
duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di
hadapannya)”5.
Kesimpulannya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah ) dan ridha dengan segala pembagian-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “…Ridhalah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”6.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua orang yang membaca dan merenungkannya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1434 H
1 HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 1051).
2 HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).
3 HSR Muslim (no. 1054).
4 Kitab “Tuhfatul ahwadzi” (7/35).
5 HR
Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban
(no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih
oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
6 HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
—
Dari artikel 'Kaya Dengan Atau Tanpa Harta, Bisa? — Muslim.Or.Id'
بسم الله الرحمن الرحيم
Kalau pertanyaan berikut diajukan kepada kita: mau
jadi orang kaya atau miskin? Tentu mayoritas, atau bahkan semua akan
memilih jadi orang kaya. Pilihan ini wajar karena kekayaan identik
dengan kebahagiaan, kecukupan dan ketenangan hidup, sementara tentu
tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya sengsara.
Akan tetapi permasalahan yang sebenarnya adalah
dengan apa orang menjadi kaya sehingga dia bisa hidup tenang dan
berkecukupan? Apakah dengan harta benda atau pangkat dan jabatan duniawi
semata?
Jawabannya pasti: tidak, karena kenyataan di lapangan
membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki harta berlimpah dan
jabatan yang tinggi tapi hidupnya jauh dari kebahagiaan dan digerogoti
berbagai macam penyakit kronis yang bersumber dari hati dan pikirannya
yang tidak pernah tenang.
Kalau demikian, dengan apakah seorang manusia bisa meraih kekayaan, kecukupan dan kebahagiaan hidup sejati?
Temukan jawaban pertanyaan di atas dalam hadits berikut ini::
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati)”1.
Inilah jawaban dari hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang merupakan wahyu Allah Ta’ala Pencipta
alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga manusia. Dialah
Yang Maha Mengetahui tentang segala keadaan manusia, tidak terkecuali
sebab yang bisa menjadikan mereka meraih kekayaan, kecukupan dan
kebahagiaan hidup sejati.
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman:
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta
beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).
Hadits ini merupakan argumentasi kuat, ditambah bukti
nyata di lapangan, yang menunjukkan bahwa kekayaan dan kecukupan dalam
hati merupakan sebab kebahagiaan hidup manusia lahir dan batin, meskipun
orang tersebut tidak memiliki harta yang berlimpah.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika
segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika
segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia,
ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”2.
Benar, kekayaan yang sejati adalah iman kepada Allah Ta’ala dan ridha terhadap segala ketentuan dan pemberian-Nya, ini akan melahirkan sifat qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah Ta’ala).
Inilah sifat yang akan membawa keberuntungan besar bagi hamba di dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh
sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki
yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa
cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya”3.
Apa yang dijelaskan dalam hadits
ini tidaklah mengherankan, karena arti “kaya” yang sesungguhnya adalah
merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki, adapun orang yang tidak
pernah puas dan selalu rakus mencari tambahan, meskipun hartanya
berlimpah, maka sungguh inilah kemiskinan yang sejati, karena
kebutuhannya tidak pernah tercukupi.
Imam Ibnu Baththal berkata: “Makna hadits
di atas: Bukanlah kekayaan yang hakiki (dirasakan) dengan banyaknya
harta, karena banyak orang yang Allah jadikan hartanya berlimpah tidak
merasa cukup dengan pemberian Allah tersebut, sehingga dia selalu
bekerja keras untuk menambah hartanya dan dia tidak perduli dari manapun
harta tersebut berasal (dari cara yang halal atau haram).
Maka (dengan ini) dia seperti orang yang sangat miskin karena
(sifatnya) yang sangat rakus. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan
(dalam) jiwa (hati), yaitu orang yang merasa cukup, qana’ah dan
ridha dengan rezki yang Allah limpahkan kepadanya, sehingga dia tidak
(terlalu) berambisi untuk menambah harta (karena dia telah merasa cukup)
dan tidak ngotot mengejarnya, maka dia seperti orang kaya”4.
Oleh karena itu, kemiskinan yang sebenarnya adalah sifat
rakus dan ambisi yang berlebihan untuk menimbun harta serta tidak
pernah merasa cukup dengan pemberian Allah Ta’ala.
Padahal kalau saja seorang manusia mau berpikir dengan
jernih dan merenungkan, apakah kerakusan dan ketamakannya akan
menjadikan rezki yang telah Allah Ta’ala tetapkan baginya bisa
bertambah dan semakin luas? Tentu saja tidak, karena segala sesuatu yang
telah ditetapkan-Nya tidak akan berubah, bertambah atau berkurang.
Bahkan lebih dari itu, justru kerakusan dan ambisi yang
berlebihan mengejar perhiasan dunia, itulah yang akan menjadikannya
semakin menderita dan sengsara. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah
merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan
mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan
baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan
utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan
kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda)
duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di
hadapannya)”5.
Kesimpulannya, orang yang paling kaya adalah orang yang paling qana’ah (selalu merasa cukup dengan rezki yang diberikan Allah ) dan ridha dengan segala pembagian-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “…Ridhalah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”6.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk semua orang yang membaca dan merenungkannya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1434 H
1 HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 1051).
2 HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).
3 HSR Muslim (no. 1054).
4 Kitab “Tuhfatul ahwadzi” (7/35).
5 HR
Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban
(no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih
oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
6 HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
—
Dari artikel 'Kaya Dengan Atau Tanpa Harta, Bisa? — Muslim.Or.Id'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar