Seorang
rekan yang bisa dipercaya bercerita kepadaku, “Saya berdua dengan sahabatku
pergi mendakwahi anak-anak muda di kafe-kafe, diskotik-diskotik dan
tempat-tempat yang lainnya yang biasa kami lakukan.
Kami
berhenti disebuah discotique yang terdengar lantunan nyanyian dari dalamnya,
kami mengetuk pintu, pintu dibuka untuk kami.
Ketika
kami memasuki ruangan tersebut mereka berhenti berrnyanyi untuk menghargai
kami, akan tetapi salah seorang dari mereka tidak menyukai kedatangan kami,
lalu ia melontarkan cacian, makian dan sumpah serapah, ia menghembuskan asap
rokok kepada kami.
Setelah
kami menyampaikan segala apa yang mungkin kami sampaikan dengan takdir Allah,
lalu kami beranjak keluar.
Sesampainya
diluar sahabatku ini tidak mau pergi, ia berdiam ditempat hiburan tersebut.
Saat aku bertanya kepadanya untuk apa menunggu, ia menjawab, ‘Engkau akan tahu
saat orang itu –orang yang mencaci didalam ruangan tadi- keluar.’
Setelah
dua jam menunggu, orang yang dimaksud oleh sahabatku itu keluar, sahabatku
mendekatinya dan memberinya nasehat, akan tetapi orang itu meludahi wajahnya.
Sahabatku mengusap ludah orang tersebut dari wajahnya. Ia berusaha memberinya
nasehat lagi. Dan orang justru meludahinya sambil mendorongnya. Sahabatku mendekatiku
dan memintaku untuk mengikuti orang tersebut, lalu aku bertanya kepadanya,
“untuk apa?. Ia berkata, “kamu akan melihatnya besok.”
Kami
mengikuti orang tersebut untuk mengetahui tempat tinggalnya. Kami sepakat akan
menunaikan shalat magrib bersama dimasjid terdekat dari tempat tinggal orang
tersebut pada esok harinya.
Esok
harinya setelah menunaikan shalat magrib, sahabatku itu pergi menuju rumah
orang tersebut lalu mengetuk pintunya, tatkala orang itu membuka pintu dan
melihat sahabatku yang datang, ia segera menderanya dengan cacian dan makian
yang memerahkan telinga. Akan tetapi buru-buru sahabatku memegang kepala orang
tersebut dan menciumnya –sebuah ungkapan penghormatan dan kecintaan dalam adat
istiadat orang arab-, sembari minta izin kepadanya untuk berbicara seperempat
jam saja didalam rumah. Sahabatku berhasil mengambil hati orang tersebut.
Kemudian
mereka masuk kedalam rumah dan aku mengiringi mereka dari belakang. Sahabatku
mulai memberikan saran dan nasehat kepada orang tersebut. Sepuluh menit
kemudian air mata kami bertiga menetes tak tertahankan.
Sahabatku
meminta kepada orang tersebut untuk mandi dan berwudhu’, kemudian melaksanakan
shalat Isya berjamaah bersama-sama dimasjid terdekat.
Setelah
kejadian itu, orang tersebut selalu menjaga shalatnya dengan baik.
Suatu
hal yang menakjubkan yang dapat kita ambil hikmahnya dari kisah ini adalah,
bahw ternyata Allah Ta’ala memanggil orang tersebut kehadirat-Nya (mati)
setelah ia bertaubat dan istiqamah dalam agamanya –semoga Allah merahmatinya-.
Dalam
kisah ini nampak sebuah tauladan yang sangat baik, bahwa tidak ada seorang
muslimpun yang memiliki sifat agung ini kecuali dakwahnya akan berhasil, yakni
KESABARAN.
Saudaraku,
sudahkah kita menyeru kepada kebaikan? Sudahkah kita mencegah dari kemungkaran?
Kemudian kita bersabar atas resiko yang ditimbulkan, sebagaimana bersabarnya
Rosulullahi Shallallahi ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat dan para salafus
shaleh?
Sebuah
pertanyaan menunggu jawaban jujur dari hati kita masing-masing.
Saudaraku,
tidakkah kamu mau termasuk golongan umat terbaik yang diutus kepada manusia?
Allah
Ta’ala berfirman,
كنتم
خير أمّةٍ أخرجت للناس تعمرون بالمعروف وينهو ن عن المنكر وتؤمنون بالله
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Allah
berada dibalik setiap kehendak dan dialah yang memberikan petunjuk kepada jalan
kebenaran.
__________________________________________
Kesaksian
Seorang Dokter Mensucikan Hati melalui Kisah-Kisah Nyata. dr. Khalid bin Abdul Aziz
Al-Jubbair, SpJP hal. 90 – 92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar