Rabu, Desember 12, 2012

ABU HAZIM AL-A'ARAJ (SALAMAH BIN DINAR) 3



Khalifah           : “Wahai Abu Hazim, maukah engkau mendampingi kami agar kami bisa mendapatkan sesuatu darimu dan anda mendapatkan sesuatu dari kami?”

Abu Hazim      : “Tidak, wahai amirul mukminin.”

Khalifah           : “Mengapa?”

Abu Hazim      : “Saya khawatir kelak akan condong kepada anda sehingga Allah Subhana wa ta’ala menghukum saya dengan kesulitan didunia dan siksa di akhirat.”

Khalifah           : “Utarakanlah kebutuhan anda kepada kami wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim tidak menjawaab sehingga khalifah mengulangi pertanyaannya: “Wahai Abu Hazim utarakanlah hajat-hajatmu, kami akan memenuhi sepenuhnya.”

Abu Hazim      : “Hajat saya adalah selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga.”

Khalifah           : “Itu bukan wewenang kami wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim      : “Saya tidak memiliki keperluan selain itu wahai amirul mukminin.”

Khalifah           : “Wahai Abu Hazim, berdo’alah untukku.”

Abu Hazim      : “Ya Allah, bila hambamu sulaiman ini adalah orang yang Kau cintai, maka mudahkanlah baginya jalan kebaikan di dunia dan akhirat. Dan jika dia termasuk musuh-Mu, maka berilah dia hidayah kepada apa yang Engkau sukai dan Engakau ridhai, Amin.”

Salah satu hadirin berkata: “Alangkah buruknya perkataanmu tentang amirul mukminin. Engkau sebutkan khalifah barangkali termasuk musuh Allah –Subhana wa ta’ala-, kamu telah menyakiti perasaannya.”

Abu Hazim      : “Justru perkataanmu itulah yang buruk. Ketahuilah bahwa Allah telah mengambil janji dari para ulama agar berkata jujur:

Terjemahan

Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.” (QS. Ali Imran: 187)

Beliau menoleh kepada khalifah dan berkata: “Wahai amirul mukminin umat-umat terdahulu tinggal dalam kebaikan dan kebahagiaan selama pemimpinnya selalu mendatangi ulama untuk mencari kebenaran pada diri mereka. Kamudian muncullah kaum dari golongan rendah yang mempelajari berbagai ilmu mendatangi para amir untuk mendapatkan kesenangan dunia. Selanjutnya para amir tersebut tidak lagi menghiraukan perkataan ulama, maka merekapun menjadi lemah dan hina di mata Allah –Subhana wa ta’ala-. Seandainya segolongan ulama tidak tamak terhadap apa yang ada disisi para amir, tentulah amir-amir tersebut akan mendatangi mereka untuk mencari ilmu. Tetapi karena para ulama menginginkan apa yang ada disisi para amir, maka para amir tak lagi menghiraukan ucapannya.”

Khalifah           : “Anda benar. Tambahkanlah nasehat untukku, wahai Abu Hazim, aku benar-benar tidak mendapati hikmah yang lebih dekat dengan lidahnya daripada anda.”

Abu Hazim      : “Bila anda termasuk orang yang suka menerima nasehat, maka apa yang saya utarakan tadi cukuplah sebagai bekal. Tetapi bila tidak dari golongan itu, maka tidak perlulah aku memanah dengan busur yang tak ada talinya.

Khalifah           : “Wahai Abu Hazim, aku berharap anda mau berwasiat kepadaku.”

Abu Hazim      : “Baiklah, akan saya katakan dengan ringkas. Agungkanlah Allah –Subhana wa Ta’ala dan jagalah jangan sampai Dia melihat anda dalam keadaan yang tidak disukai-Nya dan tetaplah anda ditempat yang diperintahkan-Nya.”

Setelah itu, Abu Hazim mengucapkan salam dan mohon diri. Khalifah berkata : “Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan wahai seorang alim yang suka menasehati.”

Setibanya dirumah, Abu Hazim mendapati sekantung dinar dari Amirul Mukminin yang disertai surat berbunyi: “Pergunakanlah harta ini, dan bagi anda masih ada persediaan yang semisalnya disisiku.” Namun beliau mengembalikan harta tersebut disertai surat balasan:
“Wahai amirul mukminin, saya berlindung kepada Allah apabila pertanyaan-pertanyaan anda kepada saya hanya anda anggap iseng dan jawaban sayapun menjadi bathil. Demi Allah saya tidak rela hal itu terjadi pada diri anda, lalu bagaimana saya bisa merelakannya untuk diri saya sendiri? Wahai amirul mukminin, bila dinar-dinar ini adalah imbalan atas kata-kata yang sampaikan kepada anda, maka memakan bangkai dan daging babi dalam keaadaan terpaksa adalah lebih halal daripadanya. Namun apabila ini memang hak saya dari Baitul Maal Muslimin, apakah anda memberikannya sama besar dengan bagian muslimin lainnya?”

Bersambung . . . . . . . .
­­­­­­­­­­­­____________________________________________________________________
Shuwaru min Hayati At-Tabi’in. Edisi Indonesia “Mereka Adalah Para Tabi’in”. DR. Abdurrahman Ra’fat Basya.

Tidak ada komentar: